Assalamualaikum Wr wb,
Ini kisah nyata
dari teman saya yg mendapat kiriman email dari temannya.
Mudah2an bermanfaat
buat kita semua.
Moral
cerita : Si tukang bakso tak pusing pusing menghitung nisab”
Suatu senja, saat saya pulang dengan
basah kuyup karena hujan lebat yang mengguyur kota Bandung....tek tek tek...
terdengar suara pentungan tukang bakso yang biasa lewat depan rumah saya,
kebetulan memang saya lapar, ditambah lagi dengan dinginnya cuaca Bandung sore
itu... saya pun segera memesan bakso tersebut..
Selesai makan bakso, lalu saya membayarnya. ...
Ada satu hal yang menggelitik
pikiranku selama ini ketika sayamembayarnya, si tukang bakso memisahkan uang
yang diterimanya. Yang satu disimpan dilaci, yang satu ke dompet, yang lainnya
ke kaleng bekas kue semacam kencleng. Lalu aku bertanya atas rasa penasaranku
selama ini.
"Mang kalo boleh tahu, kenapa
uang - uang itu Emang pisahkan? Barangkali ada tujuan ?" "Iya pak,
Emang sudah memisahkan uang ini selama jadi tukang bakso yang sudah berlangsung
hampir 17 tahun. Tujuannya sederhana saja, Emang hanya ingin memisahkan mana
yang menjadi hak Emang, mana yang menjadi hak orang lain / tempat ibadah, dan
mana yang menjadi hak cita-cita penyempurnaan iman ".
"Maksudnya.. ...?", saya
melanjutkan bertanya."Iya Pak, kan agama dan Tuhan menganjurkan kita agar
bisa berbagi dengan sesama. Emang membagi 3, dengan pembagian sebagai berikut :
1. Uang yang masuk ke dompet,
artinya untuk memenuhi keperluan hidup sehari - hari Emang dan keluarga.
2. Uang yang masuk ke laci, artinya
untuk infaq/sedekah, atau untuk melaksanakan ibadah Qurban. Dan alhamdulillah
selama 17 tahun menjadi tukang bakso, Emang selalu ikut qurban seekor kambing,
meskipun kambingnya yang ukuran sedang saja
3. Uang yang masuk ke kencleng,
karena emang ingin menyempurnakan agama yang Emang pegang yaitu Islam. Islam
mewajibkan kepada umatnya yang mampu, untuk melaksanakan ibadah haji. Ibadah
haji ini tentu butuh biaya yang besar. Maka Emang berdiskusi dengan istri dan
istri menyetujui bahwa di setiap penghasilan harian hasil jualan bakso ini,
Emang harus menyisihkan sebagian penghasilan sebagai tabungan haji. Dan insya
Allah selama 17 tahun menabung, sekitar 2 tahun lagi Emang dan istri akan
melaksanakan ibadah haji.
Hatiku sangat.. sangat tersentuh
mendengar jawaban itu. Sungguh sebuah jawaban sederhana yang sangat mulia.
Bahkan mungkin kita yang memiliki nasib sedikit lebih baik dari si emang tukang
bakso tersebut, belum tentu memiliki fikiran dan rencana indah dalam hidup seperti
itu. Dan seringkali berlindung di balik tidak mampu atau belum ada rejeki.
Terus saya melanjutkan sedikit
pertanyaan, sebagai berikut : "Iya memang bagus...,tapi kan ibadah haji
itu hanya diwajibkan bagi yang mampu, termasuk memiliki kemampuan dalam
biaya....".
Ia menjawab, " Itulah sebabnya
Pak. Emang justru malu kalau bicara soal mampu atau tidak mampu ini. Karena
definisi mampu bukan hak pak RT atau pak RW, bukan hak pak Camat ataupun MUI.
Kita diberi kebebasan untuk mendifinisikan kata "mampu". Kalau kita mendefinisikan diri sendiri sebagai orang tidak mampu, maka mungkin selamanya kita akan menjadi manusia tidak mampu. Sebaliknya kalau kita mendefinisikan diri sendiri, "mampu", maka Insya Allah dengan segala kekuasaan dan kewenangannya Allah akan memberi kemampuan pada kita".
Kita diberi kebebasan untuk mendifinisikan kata "mampu". Kalau kita mendefinisikan diri sendiri sebagai orang tidak mampu, maka mungkin selamanya kita akan menjadi manusia tidak mampu. Sebaliknya kalau kita mendefinisikan diri sendiri, "mampu", maka Insya Allah dengan segala kekuasaan dan kewenangannya Allah akan memberi kemampuan pada kita".
0 komentar:
Posting Komentar