Bismillaahirrahmanirrahiim
Diambil dari pengajian Ibu-Ibu wali murid dan
Ibu Bapak Guyu Sekolah Bermain Balon Hijau,
Oleh: Teh Yenni, Psi
*dengan sedikit penambahan dan perapihan materi
oleh Bonita (siapa pula orang ini)*
Rentang usia 2-4 tahun merupakan "usia
emas" tumbuh kembang anak. Sebetulnya secara umum, golden age ada pada
usia 0-5 tahun (dari dalam rahim Ibu sampai 5 tahun). Namun, karena Sekolah
Bermain Balon Hijau (SBBH) adalah sekolah bermain untuk anak usia 2-4 tahun,
maka pembahsannya dikerucutkan menjadi tumbuh kembang anak pada usia 2-4 tahun.
Terjadi salah persepsi yang turun temurun dan
akhirnya membudaya pada orang tua, terutama Ibu, dalam mendidik anaknya. Ibu
sering kali membuat dikotomi aktivitas. Selama ini, mendidik anak selalu
dipisahkan dengan aktivitas-aktivitas rumahan lainnya, seperti memasak,
menyuci, menyapu, menyetrika, dan sebagainya. Padahal, segala aktivitas yang
dilakukan saat orang tua sedang bersama anak adalah waktu mendidik anak itu sendiri.
- Mengembangkan
Kecerdasan Motorik Anak
Perkembangan motorik anak di usia golden age
sangatlah pesat dan proses imitasi pada fase ini sangat lah hebat. Orang tua
harus memanfaatkan jangka waktu itu untuk memberikan sebaik-baik teladan dan
pendidikan pada anaknya.
Misalnya, saat sedang memasak, yang umum terjadi
saat ini adalah seorang Ibu menidurkan anaknya dulu, lalu setelah itu ia
melakukan aktivitas masak-memasaknya. Padahal, itu (memasak) adalah waktu yang
sangat potensial untuk mengembangkan kecerdasan motorik anak.
Ibu bisa megenalkan nama sayur-sayuran, buah-buahan,
dan alat-alat dapur pada anak.
Contohnya dengan mengatakan dan menunjukkan
sayuran wortel:
"Adek, ini namanya wortel. Coba adek pegang
wortelnya. Wortel ini warna orens"
Kalimat singkat dan sederhana, tapi sudah ada 3
pelajaran yang bisa ibu berikan pada anaknya. Pertama, belajar mengenal sayuran
| Ke dua, belajar mengenal tekstur (tingkat kekerasan) | Ke tiga, belajar
mengenal warna.
Atau contoh lainnya:
"Anak baik, ini tahu. Tahu warnanya kuning.
Pegang tahunya. Loh, kok hancur ya?"
Dari sini anak bisa mengenal makanan tahu yang
berwarna kuning dan lembut.
- Mengajarkan
Tanggung Jawab
Sedari kecil, anak harus sudah dijarkan
bertanggung jawab atas apa-apa yang dia lakukan. Biasakan anak membereskan
mainannya sendiri. Memang tidak mudah membuat anak kecil membereskan mainannya,
maka orang tua harus sabar dan telaten dalam memberikan pendidikan. Kalimat,
"Adek, mainannya beresin", tanpa contoh dan pendampingan adalah
bentuk kalimat lain dari, "Ya udah Ibu yang beresin".
Proses yang benar dalam menyuruh anak
bertanggung jawab untuk membereskan mainannya adalah seperti ini:
1. Bertanya dahulu
kepada anak.
Orang tua: "Adek, kok mainannya jadi ada di
sini. Siapa yang habis main?"
Anak: "Aku"
Orang tua: "Tadi ngambilnya dari
mana?"
Anak: "Dari situ" kalau anak menjawab
"Tidak tahu", maka orang tua harus menunjukkan di mana sebenarnya
tempat mainan itu.
Orang tua: "Masukkin lagi ke tempatnya,
nanti Ibu/Ayah bantuin"
*Kalimat: "Ibu/Ayah bantuin" adalah
bentuk dukungan orang tua kepada anak, dengan beban tanggung jawab tetap ada di
anak tersebut.
2. Menghukum Anak
Bila anak tetap tidak menuruti orang tuanya,
maka dibutuhkan metode hukuman dan penghargaan untuknya. Misalnya, saat anak
mengelak membereskan mainannya, orang tua berhak memberikan konsekuensi atas
perbuatan anaknya itu. Contoh, dengan melarang ia menonton acara kesukaannya.
Menonton televisi (acara yang bermanfaat) bisa digunakan sebagai ajang “pemberian
hadiah” bagi anak, karena secara fitrah anak-anak memang suka menonton acara
televisi yang sesuai dengan usianya. Sangat sayang bila anak beranggapan bahwa
menonton tv hanyalah kebiasaan sehari-hari. Buat agar kegiatan menyenangkan
baginya itu seolah adalah “reward” atas perilaku baiknya.
Dalam melarang atau memberikan hukuman, orang
tua harus mengetahui beberapa hal:
2.1. Anak usia 2-4 tahun
tidak mengenal kalimat negatif.
Contohnya, saat anak berlarian dan orang tua
mengingatkan: “Jangan lari-lari”, maka dia akan berlari semakin kencang. Kalimat“Jangan
main tanah”, berarti terus saja main tanah bagi anak-anak.
Kalimat larangan yang benar untuk anak-anak
adalah seperti ini: “Adek, lari-lari terus nanti jatuh loh, terus berdarah”, atau “Hii, di tanah kan banyak
cacing, banyak kotoran. Kotor tuh, jijik deh”.
Orang tua juga harus konsisten dalam memberikan
hukuman dan hadiah kepada anak. Jangan sampai anak menganggap remeh “reward and
punishment” itu. Bahayanya lagi, dan ini adalah tahap yang paling fatal dalam
hubungan apapun, bila orang-orang dalam sebuah interaksi sosial sudah saling
kehilangan respek. Jangan sampai anak tidak menghargai orang tuanya dan
sebaliknya.
2.2 Tidak Ada Anak yang
Berniat Jahat
Berbeda dengan orang dewasa, bila seorang anak
terlihat menjambak rambut kawannya, belum tentu berarti ia benci pada temannya
itu. Bisa jadi ia merasa rambut temannya itu bagus dan panjang sehingga ia
ingin memegangnya.
Jadi, tahap pertama yang harus dilakukan bila
anak melakukan perbuatan yang negatif adalah: Tanyakan terlebih dahulu mengapa
mereka melakukan itu. Percayalah, pada fitrahnya tidak ada anak kecil yang
berniat jahat, berkonspirasi, iri hati, dan penuh dengki. Jangan sampai orang
tua gegabah mengatakan, “Kamu nakal banget sih!”, tanpa tahu alasan mengapa
anak melakukan perbuatannya itu. Jangan, sungguh jangan sampai justru orang
tuanya lah yang memberikan label buruk pada anaknya sehingga predikat itu
terngiang-ngiang sampai ia dewasa, dan menjadi realita. Atau jangan sampai kita
menjadi orang tua yang sok tahu, dengan kemampuan terbatas dan emosi yang
berlebihan kita menghakimi anak kita hiperaktif, padahal rentang usianya masih
dalam tahap golden age (0-5 tahun). Bapak-Bapak, Ibu-Ibu, kita baru bisa
mengetahui apakah anak kita hiperaktif atau tidak itu di usianya yang ke 7
tahun. Maka bila anak kita tampak lincah, banyak tanya dan selalu ceria, maka
berprasangka baiklah, ia memiliki kecerdasan dan tenaga lebih dari Allaah
Tabaraka wa Ta’ala. J
·
Hal-hal apa saja yang harus dimiliki orang tua ?
1.
Ilmu pengetahuan
Anak sangat percaya pada orang tuanya, maka
orang tua wajib memiliki ilmu pengetahuan yang luas dan seni menjawab
pertanyaan yang baik.
Contoh pertanyaan anak-anak:
Anak: “Mama, itu namanya apa?”
Mama: “Parabola, sayang”
Anak: “Kok ga ada bolanya, mana bolanya, Ma?”
*Silakan dipikirkan jawabannya ya, para orang
tua dan calon-calon orang tua :D*
2.
Hindari sifat obsesif
Walaupun seorang Ibu melahirkan, menyusui,
mendidik anak, (bahkan ikut membantu mencari nafkah) dan ayah menafkahi
keluarga, mendidik anak dan istri, namun setiap orang berhak atas kehidupannya
masing-masing. Dilarang keras bagi orang tua untuk menjadikan anak sebagai
objek obsesi-obsesinya yang belum tercapai.
Bila anak kita dilahirkan pemalu, maka biarlah
ia tetap menjadi seperti itu. Untuk ummat islam, justru malu tidak akan
mendatangkan sesuatu kecuali kebaikan.
Kembali lagi kepadanya, kembali lagi kepada
makhluk yang paling kita cinta, kembali kepada ia yang harus diikuti oleh para
perindu surga: Rasulullaah Shallallaahu ‘Alayhi wa Sallam tidak pernah memaksa
Abu Bakr Radhiyallaahu ‘Anhuma menjadi pribadi yang tidak mudah menangis agar
terlihat lebih macho sebagai laki-laki, Beliau Shallallaahu ‘Alayhi wa Sallam juga
tidak menuntut Ummar Ibn Khaththab Radhiyallaahu ‘Anhuma menjadi sosok pemimpin
yang dewasa penuh kelembutan selembut Abu Bakr Radhiyallaahu ‘Anhuma. Rasulullaah
Shallallaahu ‘Alayhi wa Sallam membiarkan Utsman Ibn Affan Radhiyallaahu ‘Anhuma
dengan sifat pemalunya, pun ‘Ali Ibn Abi Thalib tetap menjadi pribadi yang
ceria dan suka bercanda.
Perbedaan karakter para sahabat justru menjadi
kendaraan dakwah Rasulullaah Shallallaahu ‘Alayhi wa Sallam yang paling hebat. Bahan
bakar utama dari proses dinamisasi dakwah adalah perbedaan karakter para da’inya.
Intinya, biarlah anak menentukan masa depannya, kita
hanya butuh menanamkan nila kebenaran yang menjadi pedoman untuk setiap
keputusan yang diambilnya.
“Mencintai anak-anak bukan hanya tentang mencintai kelucuan dan
keceriannya saat ini. Mencintai anak-anak hari ini berarti mencintai masa
depannya nanti”
Semangat
Bapak dan Ibu Guyu.
Baarakallaahu fiikum